Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Pengertian Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Ada beberapa pengertian monopoli yang diartikan beberapa
Kalangan; Black’s Law Dictionary mengartikan monopoli sebagai “a
peveilege or peculiar advantage vested in one or more persons or
companies, consisting in the exclusive right ( or power ) to carry on a
particular article, or control yhe sale of whole supply of a particular
commodity ” . (Henry Champbell Black,1990 : 696)
Secara etimologi, kata “monopoli” berasal dari kata Yunani ‘Monos’
yang berarti sendiri dan ‘Polein’ yang berarti penjual. Dari akar kata
tersebut secara sederhana orang lantas memberi pengertian monoopli
sebagai suatu kondisi dimana hanya ada satu penjual yang menawarkan
(supply) suatu barang atau jasa tertentu. (Arie Siswanto:2002)
Disamping istilah monopoli di USA sering digunakan kata “antitrust”
untuk pengertian yang sepadan dengan istilah “anti monopoli” atau
istilah “dominasi” yang dipakai masyarakat Eropa yang artinya juga
sepadan dengan arti istlah “monopoli” Disamping itu terdapat istilah
yang artinya hampir sama yaitu “kekuatan pasar”. Dalam praktek keempat
kata tersebut, yaitu istilah “monopoli”, “antitrust”, “kekuatan pasar”
dan istilah “dominasi” saling dipertukarkan pemakaiannya. Keempat
istilah tersebut dipergunakan untuk menunjukkan suatu keadaan dimana
seseorang menguasai pasar ,dimana dipasar tersebut tidak tersedia lagi
produk subtitusi yang potensial, dan terdapatnya kemampuan pelaku pasar
tersebut untuk menerapkan harga produk tersebut yang lebih tinggi, tanpa
mengikuti hukum persaingan pasar atau hukum tentang permintaan dan
penawaran pasar.
Undang-Undang Anti Monopoli No 5 Tahun 1999 memberi arti kepada
monopolis sebagai suatu penguasaan atas produksi dan atau pemasaran
barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha
atau kelompok pelaku usaha (pasal 1 ayat (1) Undang-undagn Anti Monopoli
). Sementara yang dimaksud dengan “praktek monopoli” adalah suatu
pemusatan kekuatan ekonomi oleh salah satu atau lebih pelaku yang
mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan
atau jasa tertentu sehingga menimbulkan suatu persaingan usaha secara
tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Sesuai dalam Pasal 1
ayat (2) Undang-Undang Anti Monopoli .
Selain itu, Undang-Undang Anti monopoli juga memberikan arti kepada
“persaingan usaha tidak sehat” sebagai suatu persaingan antar pelaku
usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau
jasa yang dilakukan dengan cara-cara yang tidak jujur atau dengan cara
melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
Dengan demikian Undang-undang Anti Monopoli No 5 tahun 1999 dalam
memberikan arti kepada posisi dominan atau perbuatan anti persaingan
lainnya mencakup baik kompetisi yang interbrand, maupun kompetisi yang
intraband. Yang dimaksud dengan kompetisi yang interbrand adalah
kompetisi diantara produsen produk yang generiknya sama. Dilarang
misalnya jika satu perusahaan menguasai 100 persen pasar televisi, atau
yang disebut dengan istilah “monopoli”. Sedangkan yang dimaksud dengan
kompetisi yang intraband adalah kompetisi diantar distributor atas
produk dari produsen tertentu. (Munir Fuady 2003: 6)
Disamping itu, ada juga yang mengartikan kepada tindakan monopoli
sebagai suatu keistimewaan atau keuntungan khusus yang diberikan kepada
seseorang atau beberapa orang atau perusahaan, yang merupakan hak atau
kekuasaan yang eksklusif untuk menjalankan bisnis atau mengontrol
penjualan terhadap seluruh suplai barang tertentu .
Dalam hukum Inggris kuno, monopoli diartikan sebagai suatu izin atau
keistimewaan yang dibenarkan oleh raja untuk membeli, menjual, membuat.
Mengerjakan atau menggunakan apapun secara keseluruhan, dimana tindakan
monopoli tersebut secara umum dapat mengekang kebebasan berproduksi atau
trading. Atau monopoli dirumuskan juga sebagai suatu tindakan yang
memiliki atau mengontrol bagian besar dari suplai di pasar atau output
dari komoditi tertentu yang dapat mengekang kompetisi, membatasi
kebebasan perdagangan, yang memberikan kepada pemonopoli kekuasaan
pengontrolan terhadap harga.
Ada lagi yang mengartikan kepada tindakan monopoli (yang umum
)sebagai suatu hak atau kekuasaan hanya untuk melakukan suatu kegiatan
atau aktivitas yang khusus, seperti membuat suatu produk tertentu,
memberikan suatu jasa, dan sebagainya. Atau, suatu monopoli (dalam dunia
usaha) diartikan sebagi pemilikan atau pengendalian persediaan atau
pasaran untuk suatu produk atau jasa yang cukup banyak untuk mematahkan
atau memusnahkan persaingan, untuk mengendalikan harga, atau dengan cara
lain untuk membatasi perdagangan
Struktur monopoli sering pula dibedakan atas monopoli alamiah dan non
alamiah. Monopoli alamiah antara lain dalam memproduksi air minum, gas,
listrik dan lainnya sedangkan monopoli non alamiah yang merupakan
monopoli berasal dari struktur oligopoli yang kolusif sehingga
mendapatkan tempat yang kurang baik , akan tetapi bukan berarti yang
alamih juga dapat melepaskan diri dari citra yang kurang baik di pihak
lain. (Nurimansyah Hasibuan .1993)
Praktek-praktek monopoli di Indonesia sering tidak mendapatkan tempat
perhatian dalam dunia penelitian. Namun demikian, oleh karena
fasilitas-fasilitas tertentu dari pemerintah, maka kehadiran monopolis
dapat memperkuat transfer pendapatan dari yang relatif lemah ke kelompok
yang relatif lebih kuat, maka kehadiran monopolis dapat memperkuat
transfer pendapatan akan tetapi walaupun monopolis mendapatkan
keuntungan yang super normal namun kurang diimbangi dengan pembayaran
pajak yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas.(Nurimansyah Hasibuan
.1993)
Azas & Tujuan Anti Monopoli dan Persaingan Usaha
a. Asas
Pelaku
usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan
demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan
pelaku usaha dan kepentingan umum.
b. Tujuan
Undang-Undang (UU) persaingan usaha adalah Undang-undang
No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat (UU No.5/1999) yang bertujuan untuk memelihara pasar
kompetitif dari pengaruh kesepakatan dan konspirasi yang cenderung
mengurangi dan atau menghilangkan persaingan. Kepedulian utama dari UU
persaingan usaha adalah promoting competition dan memperkuat kedaulatan
konsumen.
Kegiatan dan Perjanjian yang Dilarang dalam Anti Monopoli
a. Kegiatan yang Dilarang
Bagian Pertama Monopoli
Pasal 17
(1)
Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau
pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku
usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan
atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
apabila:
a. barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau
b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau
c.
satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari
50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa
tertentu.
Bagian KeduaMonopsoni
Pasal 18
(1) Pelaku usaha
dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas
barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2)
Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan
atau menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila
satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari
50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa
tertentu.
Bagian KetigaPenguasaan Pasar
Pasal 19
Pelaku usaha
dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun
bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa:
a. menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan;
b.
atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat.
Pasal 21
Pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan
dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian
dari komponen harga barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan
terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Bagian KeempatPersekongkolan
Pasal 22
Pelaku
usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau
menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya
persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 23
Pelaku usaha dilarang
bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan
usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan
sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 24
Pelaku
usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi
dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan
maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar
bersangkutan menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun
ketepatan waktu yang dipersyaratkan.
b. Perjanjian yang dilarang oleh BAB III Undang-undang Anti Monopoli adalah sebagai berikut :
1. Perjanjian –perjanjian tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar yang terdiri dari :
a) Oligopoli;
b) Penetapan harga;
c) Pembagian Wilayah;
d) Pemboikotan;
e) Kartel;
f) Trust;
g) Integrasi vertical;
h) Perjanjian tertutup;
i) Perjanjian dengan pihak luar negeri.
Hal-Hal yang Dikecualikan dalam UU Anti Monopoli
Pasal 50
Yang dikecualikan dari ketentuan undang-undang ini adalah:
a. perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau
b.
perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti
lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri,
rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang
berkaitan dengan waralaba; atau
c. perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan; atau
d.
perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan
untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih
rendah daripada harga yang telah diperjanjikan; atau
e. perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas; atau
f. perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia; atau
g.
perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak
mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri; atau
h. pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil; atau
i. kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya.
Pasal 51
Monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan
dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai
hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha
Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk
oleh Pemerintah.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
Bagian PertamaStatus
Pasal 30
(1) Untuk mengawasi pelaksanaan Undang-undang ini dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang selanjutnya disebut Komisi.
(2) Komisi adalah suatu lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah serta pihak lain.
(3) Komisi bertanggung jawab kepada Presiden.
Bagian KeduaKeanggotaan
Pasal 31
(1)
Komisi terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota, seorang Wakil
Ketua merangkap anggota, dan sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang anggota.
(2) Anggota Komisi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Masa jabatan anggota Komisi adalah 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
(4)
Apabila karena berakhirnya masa jabatan akan terjadi kekosongan dalam
keanggotaan Komisi, maka masa jabatan anggota dapat diperpanjang sampai
pengangkatan anggota baru.
Pasal 32
Persyaratan keanggotaan Komisi adalah:
1.
warga negara Republik Indonesia, berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga
puluh) tahun dan setinggi-tingginya 60 (enam puluh) tahun pada saat
pengangkatan;
2. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
3. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
4. jujur, adil, dan berkelakuan baik;
5. bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia;
6. berpengalaman dalam bidang usaha atau mempunyai pengetahuan dan keahlian di bidang hukum dan atau ekonomi;
7. tidak pernah dipidana;
8. tidak pernah dinyatakan pailit oleh pengadilan; dan
9. tidak terafiliasi dengan suatu badan usaha.
Psaal 33
Keanggotaan Komisi berhenti, karena :
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri;
c. bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia;
d. sakit jasmani atau rohani terus menerus;
e. berakhirnya masa jabatan keanggotaan Komisi; atau
f. diberhentikan.
Pasal 34
(1) Pembentukan Komisi serta susunan organisasi, tugas, dan fungsinya ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(2) Untuk kelancaran pelaksanaan tugas, Komisi dibantu oleh sekretariat.
(3) Komisi dapat membentuk kelompok kerja.
(4)
Ketentuan mengenai susunan organisasi, tugas, dan fungsi sekretariat
dan kelompok kerja diatur lebih lanjut dengan keputusan Komisi.
Bagian KetigaTugas
Pasal 35
Tugas Komisi meliputi:
a.
melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16;
b. melakukan
penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang
dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal
24;
c. melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya
penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana
diatur dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 28;
d. mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi sebagaimana diatur dalam Pasal 36;
e.
memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang
berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
f. menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan Undang-undang ini;
g. memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Bagian KeempatWewenang
Pasal 36
Wewenang Komisi meliputi:
1.
menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang
dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat;
2. melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha
dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
3. melakukan
penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat
atau oleh pelaku usaha atau menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi
ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e dan huruf f, yang
tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi;
4. meminta keterangan dari
instansi Pemerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan dan atau
pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang
ini;
5. mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan;
6. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat;
7.
memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
8. menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.
Bagian KelimaPembiayaan
Pasal 37
Biaya
untuk pelaksanaan tugas Komisi dibebankan kepada Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara dan atau sumber-sumber lain yang diperbolehkan oleh
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sanksi Anti Monopoli
Bagian PertamaTindakan Administratif
Pasal 47
(1)
Komisi berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif
terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.
(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa:
a. penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 13, Pasal 15, dan Pasal 16; dan atau
b. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; dan atau
c.
perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti
menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha tidak
sehat dan atau merugikan masyarakat; dan atau
d. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan; dan atau
e.
penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan
pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28; dan atau
f. penetapan pembayaran ganti rugi; dan atau
g.
pengenaan denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima
miliar rupiah).
Bagian KeduaPidana Pokok
Pasal 48
(1)
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14,
Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28
diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh
lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 100.000.000.000,00
(seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda
selama-lamanya 6 (enam) bulan.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan
Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal
24, dan Pasal 26 Undang-undang ini diancam pidana denda
serendah-rendahnya Rp 5.000.000.000,00 ( lima miliar rupiah) dan
setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah),
atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
(3)
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam
pidana denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
dan setinggi-tingginya Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), atau
pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
Bagian KetigaPidana Tambahan
Pasal 49
Dengan
menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap
pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana
tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha; atau
b. larangan kepada
pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap
undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
c. penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.
Pengertian Sengketa
Pengertian Sengketa
Pengertian
sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau
konflik, Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara
orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu
objek permasalahan. Senada dengan itu Winardi mengemukakan :
Pertentangan
atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau
kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama
atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu
dengan yang lain.
Sedangkan menurut Ali Achmad berpendapat :
Sengketa adalah
pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang
berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan
akibat hukum bagi keduanya.
Dari kedua pendapat diatas maka dapat dikatakan bahwa sengketa adalah
prilaku pertentangan antara dua orang atau lebih yang dapat menimbulkan
suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberi sangsi hukum bagi salah
satu diantara keduanya
Cara-Cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Seiring dengan
perkembangan yang terjadi, muncul kemudian beberapa perjanjian
internasional, baik secara khusus mengatur maupun memuat beberapa
tentang penyelesaian sengketa. Perjanjian-perjanjian tersebut dibuat
oleh negara-negara, baik secara multilateral ataupun melalui lembaga
intergovernmental, diantaranya :
1. The Convention for the Pacific Covenant of the League of Nations 1919
2. The Statute of the Permanent Court of International Justice 1921
3. The General Treaty for the Renunciation of War 1928
4. The General Act for the Pacific Settlement of International Disputes 1928
5. Piagam PBB dan Statuta Mahkamah Internasional 1945
6. Deklarasi Bandung 1955
7. The Manila Declaration on Peaceful Settlement of Disputes between States 1982.
Kelahiran League of Nations (LBB) yang menjadi lembaga
intergovernmental pasca terjadinya Perang Dunia I (PD I), tidak mampu
mencegah terjadinya penyelesaian sengketa dengan kekerasan antar negara.
Karena LBB terbukti tidak dapat melakukan tindakan preventif untuk
mencegah terjadinya Perang Dunia II (PD II). Dari kondisi seperti
itulah, negara-negara yang terlibat dalam PD II kemudian membentuk
United Nations (PBB) sebagai pengganti dari LBB. Kelahiran PBB
diharapkan dapat mencegah terjadinya hal serupa PD I dan II.
Dalam praktek hubungan antar negara pada saat ini, PBB telah menjadi
organisasi intergovernmental yang besar. Dengan keanggotaan sebanyak
itu, UN Charter (Piagam) telah dijadikan sebagai rujukan utama oleh
banyak negara untuk menyelesaikan sengketa dengan damai. Pencantuman
penyelesaian sengketa secara damai di dalam Piagam, memang mutlak
diperlukan. Selain karena PBB bertujuan untuk menjaga kedamaian dan
keamanan internasional, negara-negara anggota PBB membutuhkan panduan
dalam melaksanakan tujuan PBB tersebut.
II. Penyelesaian Sengketa dalam Piagam PBB
Tujuan dibentuknya PBB, yaitu menjaga kedamaian dan keamanan internasional tercantum di dalam pasal 1 Piagam, yang berbunyi :
“To maintain international peace and security, and to that end: to
take effective collective measures for the prevention and removal of
threats to the peace, and for the suppression of acts of aggression or
other breaches of the peace, and to bring about by peaceful means, and
in conformity with the principles of justice and international law,
adjustment or settlement of international disputes or situations which
might lead to a breach of the peace”
Kedamaian dan keamanan internasional hanya dapat diwujudkan apabila
tidak ada kekerasan yang digunakan dalam menyelesaikan sengketa, yang
ditegaskan dalam pasal 2 ayat (4) Piagam. Penyelesaian sengketa secara
damai ini, kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 33 Piagam yang
mencantumkan beberapa cara damai dalam menyelesaikan sengketa,
diantaranya :
a. Negosiasi;
b. Enquiry atau penyelidikan;
c. Mediasi;
d. Konsiliasi
e. Arbitrase
f. Judicial Settlement atau Pengadilan;
g. Organisasi-organisasi atau Badan-badan Regional.
Dari tujuh penyelesaian sengketa yang tercantum dalam Piagam, dapat
dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu penyelesaian sengketa secara
hukum dan secara politik/diplomatik. Yang termasuk ke dalam penyelesaian
sengketa secara hukum adalah arbitrase dan judicial settlement.
Sedangkan yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara diplomatik
adalah negosiasi; enquiry; mediasi; dan konsiliasi. Hukum internasional
publik juga mengenal good offices atau jasa-jasa baik yang termasuk ke
dalam penyelesaian sengketa secara diplomatik.
Pada dasarnya, tidak ada tata urutan yang mutlak mengenai
penyelesaian sengketa secara damai. Para pihak dalam sengketa
internasional dapat saja menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara
mereka ke badan peradilan internasional seperti International Court of
Justice (ICJ/Mahkamah Internasional), tanpa harus melalui mekanisme
negosiasi, mediasi, ataupun cara diplomatik lainnya. PBB tidak
memaksakan prosedur apapun kepada negara anggotanya. Dengan kebebasan
dalam memilih prosedur penyelesaian sengketa, negara-negara biasanya
memilih untuk memberikan prioritas pada prosedur penyelesaian secara
politik/diplomatik, daripada mekanisme arbitrase atau badan peradilan
tertentu, karena penyelesaian secara politik/diplomatik akan lebih
melindungi kedaulatan mereka.
III. Penyelesaian Sengketa secara Diplomatik
Seperti yang telah
dijelaskan di atas, yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara
diplomatik adalah negosiasi; enquiry atau penyelidikan; mediasi;
konsiliasi; dan good offices atau jasa-jasa baik. Kelima metode tersebut
memiliki ciri khas, kelebihan, dan kekurangan masing-masing.
a) Negosiasi
Negosiasi merupakan cara penyelesaian sengketa secara
damai yang cukup lama dipakai. Sampai pada permulaan abad ke-20,
negosiasi menjadi satu-satunya cara yang dipakai dalam penyelesaian
sengketa. Sampai saat ini cara penyelesaian melalui negosiasi biasanya
adalah cara yang pertama kali ditempuh oleh para pihak yang bersengketa.
Penyelesaian sengketa ini dilakukan secara langsung oleh para pihak
yang bersengketa melalui dialog tanpa ada keikutsertaan dari pihak
ketiga. Dalam pelaksanaannya, negosiasi memiliki dua bentuk utama, yaitu
bilateral dan multilateral. Negosiasi dapat dilangsungkan melalui
saluran diplomatik pada konferensi internasional atau dalam suatu
lembaga atau organisasi internasional.
Dalam praktek negosiasi, ada dua bentuk prosedur yang dibedakan. Yang
pertama adalah negosiasi ketika sengketa belum muncul, lebih dikenal
dengan konsultasi. Dan yang kedua adalah negosiasi ketika sengketa telah
lahir.
Keuntungan yang diperoleh ketika negara yang bersengketa menggunakan mekanisme negosiasi, antara lain :
(1) Para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan penyelesaian sesuai dengan kesepakatan diantara mereka
(2) Para pihak mengawasi dan memantau secara langsung prosedur penyelesaiannya
(3) Dapat menghindari perhatian publik dan tekanan politik dalam negeri.
(4) Para pihak mencari penyelesaian yang bersifat win-win solution, sehingga dapat diterima dan memuaskan kedua belah pihak
b) Enquiry atau Penyelidikan
J.G.Merrills menyatakan bahwa salah
satu penyebab munculnya sengketa antar negara adalah karena adanya
ketidaksepakatan para pihak mengenai fakta. Untuk menyelesaikan sengketa
ini, akan bergantung pada penguraian fakta-fakta para pihak yang tidak
disepakati. Untuk menyelesaikan sengketa tersebut, para pihak kemudian
membentuk sebuah badan yang bertugas untuk menyelidiki fakta-fakta yang
terjadi di lapangan. Fakta-fakta yang ditemukan ini kemudian dilaporakan
kepada para pihak, sehingga para pihak dapat menyelesaikan sengketa
diantara mereka.
Dalam beberapa kasus, badan yang bertugas untuk menyelidiki
fakta-fakta dalam sengketa internasional dibuat oleh PBB. Namun dalam
konteks ini, enquiry yang dimaksud adalah sebuah badan yang dibentuk
oleh negara yang bersengketa. Enquiry telah dikenal sebagai salah satu
cara untuk menyelesaikan sengketa internasional semenjak lahirnya The
Hague Convention pada tahun 1899, yang kemudian diteruskan pada tahun
1907.
c) Mediasi
Ketika negara-negara yang menjadi para pihak dalam
suatu sengketa internasional tidak dapat menemukan pemecahan masalahnya
melalui negosiasi, intervensi yang dilakukan oleh pihak ketiga adalah
sebuah cara yang mungkin untuk keluar dari jalan buntu perundingan yang
telah terjadi dan memberikan solusi yang dapat diterima oleh kedua belah
pihak. Pihak ketiga yang melaksanakan mediasi ini tentu saja harus
bersifat netral dan independen. Sehingga dapat memberikan saran yang
tidak memihak salah satu negara pihak sengketa.
Intervensi yang dilakukan oleh pihak ketiga ini dapat dilakukan dalam
beberapa bentuk. Misalnya, pihak ketiga memberikan saran kepada kedua
belah pihak untuk melakukan negosiasi ulang, atau bisa saja pihak ketiga
hanya menyediakan jalur komunikasi tambahan.
Dalam menjalankan tugasnya, mediator tidak terikat pada suatu hukum
acara tertentu dan tidak dibatasi pada hukum yang ada. Mediator dapat
menggunakan asas ex aequo et bono untuk menyelesaikan sengketa yang ada.
Pelaksanaan mediasi dalam penyelesaian sengketa internasional diatur
dalam beberapa perjanjian internasional, antara lain The Hague
Convention 1907; UN Charter; The European Convention for the Peaceful
Settlement of Disputes.
d) Konsiliasi
Sama seperti mediasi, penyelesaian sengketa melalui
cara konsiliasi menggunakan intervensi pihak ketiga. Pihak ketiga yang
melakukan intervensi ini biasanya adalah negara, namun bisa juga sebuah
komisi yang dibentuk oleh para pihak. Komisi konsiliasi yang dibentuk
oleh para pihak dapat saja terlembaga atau bersifat ad hoc, yang
kemudian memberikan persyaratan penyelesaian yang diterima oleh para
pihak. Namun keputusan yang diberikan oleh komisi konsiliasi ini tidak
mengikat para pihak.
Pada prakteknya, proses penyelesaian sengketa melalui konsiliasi
mempunyai kemiripan dengan mediasi. Pembedaan yang dapat diketahui dari
kedua cara ini adalah konsiliasi memiliki hukum acara yang lebih formal
jika dibandingkan dengan mediasi. Karena dalam konsiliasi ada beberapa
tahap yang biasanya harus dilalui, yaitu penyerahan sengketa kepada
komisi konsiliasi, kemudian komisi akan mendengarkan keterangan lisan
para pihak, dan berdasarkan fakta-fakta yang diberikan oleh para pihak
secara lisan tersebut komisi konsiliasi akan menyerahkan laporan kepada
para pihak disertai dengan kesimpulan dan usulan penyelesaian sengketa.
e) Good Offices atau Jasa-jasa Baik
Jasa-jasa baik adalah cara
penyelesaian sengketa melalui bantuan pihak ketiga. Pihak ketiga
berupaya agar para pihak yang bersengketa menyelesaikan sengketanya
dengan negosiasi. Menurut pendapat Bindschedler, yang dikutip oleh Huala
Adolf, jasa baik dapat didefinisikan sebagai berikut: the involvement
of one or more States or an international organization in a dispute
between states with the aim of settling it or contributing to its
settlement.
Pada pelaksanaan di lapangan, jasa baik dapat dibedakan dalam dua
bentuk, yaitu jasa baik teknis (technical good offices), dan jasa baik
politis (political good offices). Jasa baik teknis adalah jasa baik oleh
negara atau organisasi internasional dengan cara mengundang para pihak
yang bersengketa ikut serta dalam konferensi atau menyelenggarakan
konferensi. Tujuan dari jasa baik teknis ini adalah mengembalikan atau
memelihara hubungan atau kontak langsung di antara para pihak yang
bersengketa setelah hubungan diplomatik mereka terputus. Sedangkan jasa
baik politis adalah jasa baik yang dilakukan oleh negara atau organisasi
internasional yang berupaya menciptakan suatu perdamaian atau
menghentikan suatu peperangan yang diikuti dengan diadakannya negosiasi
atau suatu kompetensi.
IV. Penyelesaian Sengketa Secara Hukum
Penyelesaian sengketa
melalui jalur hukum atau judicial settlement juga dapat menjadi pilihan
bagi subyek hukum internasional yang bersengketa satu sama lain. Bagi
sebagian pihak, bersengketa melalui jalur hukum seringkali menimbulkan
kesulitan, baik dalam urusan birokrasi maupun besarnya biaya yang
dikeluarkan. Namun yang menjadi keuntungan penyelesaian sengketa jalur
hukum adalah kekuatan hukum yang mengikat antara masing-masing pihak
yang bersengketa.
a) Arbitrase
Hukum internasional telah mengenal arbitrase sebagai
alternatif penyelesaian sengketa, dan cara ini telah diterima oleh umum
sebagai cara penyelesaian sengketa yang efektif dan adil. Para pihak
yang ingin bersengketa dengan menggunakan metode arbitrase dapat
menggunakan badan arbitrase yang telah terlembaga, atau badan arbitrase
ad hoc. Meskipun dianggap sebagai penyelesaian sengketa internaisonal
melalu jalur hukum, keputusan yang dihasilkan oleh badan arbitrase tidak
dapat sepenuhnya dijamin akan mengikat masing-masing pihak, meskipun
sifat putusan arbitrase pada prinsipnya adalah final dan mengikat.
Pada saat ini, terdapat sebuah badan arbitrase internasional yang
terlembaga, yaitu Permanent Court of Arbitration (PCA). Dalam
menjalankan tugasnya sebagai jalur penyelesaian sengketa, PCA
menggunakan UNCITRAL Arbitration Rules 1976.
b) Pengadilan Internasional
Selain arbitrase, lembaga lain yang
dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa internasional melalui jalur
hukum adalah pengadilan internasional. Pada saat ini ada beberapa
pengadilan internasional dan pengadilan internasional regional yang
hadir untuk menyelesaikan berbagai macam sengketa internasional.
Misalnya International Court of Justice (ICJ), International Criminal
Court, International Tribunal on the Law of the Sea, European Court for
Human Rights, dan lainnya.
Kehadiran pengadilan internasional sesungguhnya telah dikenal sejak
eksisnya Liga Bangsa-Bangsa, yaitu melalui Permanent Court of
International Justice (PCIJ). Namun seiring dengan bubarnya LBB pasca
Perang Dunia II, maka tugas dari PCIJ diteruskan oleh ICJ sejalan dengan
peralihan dari LBB kepada PBB.
Penyelesaian sengketa internasional melalui jalur hukum berarti
adanya pengurangan kedaulatan terhadap pihak-pihak yang bersengketa.
Karena tidak ada lagi keleluasaan yang dimiliki oleh para pihak,
misalnya seperti memilih hakim, memilih hukum dan hukum acara yang
digunakan. Tetapi dengan bersengketa di pengadilan internasional, maka
para pihak akan mendapatkan putusan yang mengikat masing-masing pihak
yang bersengketa.
Negosiasi
Negosiasi merupakan cara penyelesaian sengketa secara
damai yang cukup lama dipakai. Sampai pada permulaan abad ke-20,
negosiasi menjadi satu-satunya cara yang dipakai dalam penyelesaian
sengketa. Sampai saat ini cara penyelesaian melalui negosiasi biasanya
adalah cara yang pertama kali ditempuh oleh para pihak yang bersengketa.
Penyelesaian sengketa ini dilakukan secara langsung oleh para pihak
yang bersengketa melalui dialog tanpa ada keikutsertaan dari pihak
ketiga. Dalam pelaksanaannya, negosiasi memiliki dua bentuk utama, yaitu
bilateral dan multilateral. Negosiasi dapat dilangsungkan melalui
saluran diplomatik pada konferensi internasional atau dalam suatu
lembaga atau organisasi internasional.
Dalam praktek negosiasi, ada dua bentuk prosedur yang dibedakan. Yang
pertama adalah negosiasi ketika sengketa belum muncul, lebih dikenal
dengan konsultasi. Dan yang kedua adalah negosiasi ketika sengketa telah
lahir.
Keuntungan yang diperoleh ketika negara yang bersengketa menggunakan mekanisme negosiasi, antara lain :
(1) Para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan penyelesaian sesuai dengan kesepakatan diantara mereka
(2) Para pihak mengawasi dan memantau secara langsung prosedur penyelesaiannya
(3) Dapat menghindari perhatian publik dan tekanan politik dalam negeri.
(4) Para pihak mencari penyelesaian yang bersifat win-win solution, sehingga dapat diterima dan memuaskan kedua belah pihak
Mediasi
Ketika
negara-negara yang menjadi para pihak dalam suatu sengketa
internasional tidak dapat menemukan pemecahan masalahnya melalui
negosiasi, intervensi yang dilakukan oleh pihak ketiga adalah sebuah
cara yang mungkin untuk keluar dari jalan buntu perundingan yang telah
terjadi dan memberikan solusi yang dapat diterima oleh kedua belah
pihak. Pihak ketiga yang melaksanakan mediasi ini tentu saja harus
bersifat netral dan independen. Sehingga dapat memberikan saran yang
tidak memihak salah satu negara pihak sengketa.
Intervensi yang dilakukan oleh pihak ketiga ini dapat dilakukan dalam
beberapa bentuk. Misalnya, pihak ketiga memberikan saran kepada kedua
belah pihak untuk melakukan negosiasi ulang, atau bisa saja pihak ketiga
hanya menyediakan jalur komunikasi tambahan.
Dalam menjalankan tugasnya, mediator tidak terikat pada suatu hukum
acara tertentu dan tidak dibatasi pada hukum yang ada. Mediator dapat
menggunakan asas ex aequo et bono untuk menyelesaikan sengketa yang ada.
Pelaksanaan mediasi dalam penyelesaian sengketa internasional diatur
dalam beberapa perjanjian internasional, antara lain The Hague
Convention 1907; UN Charter; The European Convention for the Peaceful
Settlement of Disputes.
Arbitrase
Hukum internasional telah
mengenal arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa, dan cara
ini telah diterima oleh umum sebagai cara penyelesaian sengketa yang
efektif dan adil. Para pihak yang ingin bersengketa dengan menggunakan
metode arbitrase dapat menggunakan badan arbitrase yang telah
terlembaga, atau badan arbitrase ad hoc. Meskipun dianggap sebagai
penyelesaian sengketa internaisonal melalu jalur hukum, keputusan yang
dihasilkan oleh badan arbitrase tidak dapat sepenuhnya dijamin akan
mengikat masing-masing pihak, meskipun sifat putusan arbitrase pada
prinsipnya adalah final dan mengikat.
Pada saat ini, terdapat sebuah badan arbitrase internasional yang
terlembaga, yaitu Permanent Court of Arbitration (PCA). Dalam
menjalankan tugasnya sebagai jalur penyelesaian sengketa, PCA
menggunakan UNCITRAL Arbitration Rules 1976.
Perbandingan antara Perundingan, Arbitrase dan Ligitasi
a. Negosiasi atau perundingan
Negosiasi
adalah cara penyelesaian sengketa dimana para pihak yang bersengketa
saling melakukan kompromi untuk menyuarakan kepentingannya. Dengan cara
kompromi tersebut diharapkan akan tercipta win-win solution dan akan
mengakhiri sengketa tersebut secara baik.
b. Litigasi adalah sistem penyelesaian sengketa melalui lembaga
peradilan. Sengketa yang terjadi dan diperiksa melalui jalur litigasi
akan diperiksa dan diputus oleh hakim. Melalui sistem ini tidak mungkin
akan dicapai sebuah win-win solution (solusi yang memperhatikan kedua
belah pihak) karena hakim harus menjatuhkan putusan dimana salah satu
pihak akan menjadi pihak yang menang dan pihak lain menjadi pihak yang
kalah. Kebaikan dari sistem ini adalah:
1. Ruang lingkup
pemeriksaannya yang lebih luas (karena sistem peradilan di Indonesia
terbagi menjadi beberapa bagian yaitu peradilan umum, peradilan agama,
peradilan militer dan peradilan Tata Usaha Negara sehingga hampir semua
jenis sengketa dapat diperiksa melalui jalur ini)
2. Biaya yang relatif lebih murah (Salah satu azas peradilan Indonesia adalah Sederhana, Cepat dan Murah)
Sedangkan kelemahan dari sistem ini adalah:
1.
Kurangnya kepastian hukum (karena terdapat hierarki pengadilan di
Indonesia yaitu Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung
dimana jika Pengadilan Negeri memberikan putusan yang tidak memuaskan
salah satu pihak, pihak tersebut dapat melakukan upaya hukum banding ke
Pengadilan Tinggi atau kasasi ke Mahkamah Agung sehingga butuh waktu
yang relatif lama agar bisa berkekuatan hukum tetap)
2. Hakim yang
“awam” (pada dasarnya hakim harus paham terhadap semua jenis hukum.
namun jika sengketa yang terjadi terjadi pada bidang yang tidak dikuasai
oleh hakim, maka hakim tersebut harus belajar lagi. Hal ini dikarenakan
para pihak tidak bisa memilih hakim yang akan memeriksa perkara.
Tentunya hal ini akan mempersulit penyusunan putusan yang adil sesuai
dengan bidang sengketa. Hakim juga tidak boleh menolak untuk memeriksa
suatu perkara karena hukumnya tidak ada atau tidak jelas. Jadi tidak
boleh ada hakim yang menolak perkara. apalagi hanya karena dia tidak
menguasai bidang sengketa tersebut.)
Berdasarkan konsekuensi bahwa
putusan hakim akan memenangkan salah satu pihak dan mengalahkan pihak
yang lain, maka berdasarkan hukum acara perdata di Indonesia Hakim wajib
memerintahkan para pihak untuk melaksanakan mediasi (nanti akan dibahas
lebih lanjut) untuk mendamaikan para pihak. Jika tidak dicapai
perdamaian maka pemeriksaan perkara akan dilanjutkan. Meskipun
pemeriksaan perkara dilanjutkan kesempatan untuk melakukan perdamaian
bagi para pihak tetap terbuka (dan hakim harus tetap memberikannya
meskipun putusan telah disusun dan siap untuk dibacakan). Jika para
pihak sepakat untuk berdamai, hakim membuat akta perdamaian (acte van
daading) yang pada intinya berisi para pihak harus menaati akta
perdamaian tersebut dan tidak dapat mengajukan lagi perkara tersebut ke
pengadilan. Jika perkara yang sama tersebut tetap diajukan ke pengadilan
maka perkara tersebut akan ditolak dengan alasan ne bis in idem
(perkara yang sama tidak boleh diperkarakan 2 kali) karena akta
perdamaian tersebut berkekuatan sama dengan putusan yang final dan
mengikat (tidak dapat diajukan upaya hukum).
c.Arbitrase
Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa yang mirip
dengan litigasi, hanya saja litigasi ini bisa dikatakan sebagai
“litigasi swasta” Dimana yang memeriksa perkara tersebut bukanlah hakim
tetapi seorang arbiter. Untuk dapat menempuh prosesi arbitrase hal pokok
yang harus ada adalah “klausula arbitrase” di dalam perjanjian yang
dibuat sebelum timbul sengketa akibat perjanjian tersebut, atau
“Perjanjian Arbitrase” dalam hal sengketa tersebut sudah timbul namun
tidak ada klausula arbitrase dalam perjanjian sebelumnya. Klausula
arbitrase atau perjanjian arbitrase tersebut berisi bahwa para pihak
akan menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sehingga menggugurkan
kewajiban pengadilan untuk memeriksa perkara tersebut. Jika perkara
tersebut tetap diajukan ke Pengadilan maka pengadilan wajib menolak
karena perkara tersebut sudah berada di luar kompetensi pengadilan
tersebut akibat adanya klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase.
Beberapa keunggulan arbitrase dibandingkan litigasi antara lain:
1.
Arbitrase relatif lebih terpercaya karena Arbiter dipilih oleh para
pihak yang bersengketa. Arbiter dipilih oleh para pihak sendiri dan
merupakan jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh pejabat peradilan
manapun. Dalam hal para pihak tidak bersepakat dalam menentukan arbiter
maka arbiter akan ditunjuk oleh ketua Pengadilan Negeri. Hal ini berbeda
dengan litigasi karena para pihak tidak dapat memilih hakim yang
memeriksa perkara. Calon arbiter yang ditunjuk juga boleh menolak
penunjukan tersebut.
2. Arbiter merupakan orang yang ahli di
bidangnya sehingga putusan yang dihasilkan akan lebih cermat. Dalam
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa dinyatakan bahwa salah satu syarat untuk menjadi
arbiter adalah berpengalaman aktif di bidangnya selama 15 tahun. Hal ini
tentunya berbeda dengan hakim yang mungkin saja tidak menguasai bidang
yang disengketakan sehingga harus belajar bidang tersebut sebelum
memeriksa perkara.
3. Kepastian Hukum lebih terjamin karena putusan
arbitrase bersifat final dan mengikat para pihak. Pihak yang tidak puas
dengan putusan arbitrase tidak dapat mengajukan upaya hukum. namun
putusan tersebut dapat dibatalkan jika terjadi hal-hal tertentu seperti
dinyatakan palsunya bukti-bukti yang dipakai dalam pemeriksaan setelah
putusan tersebut dijatuhkan atau putusan tersebut dibuat dengan itikad
tidak baik dari arbiter.
Sedangkan kelemahannya antara lain:
1. Biaya yang relatif mahal karena honorarium arbiter juga harus ditanggung para pihak (atau pihak yang kalah)
2. Putusan Arbitrase tidak mempunyai kekuatan eksekutorial sebelum didaftarkan ke Pengadilan Negeri.
3.
Ruang lingkup arbitrase yang terbatas hanya pada sengketa bidang
komersial (perdagangan, ekspor-impor, pasar modal, dan sebagainya)