Mata Pencaharian Masyarakat Kampung Sawah Kabupaten Bekasi
Oleh: nandang rusnandar
Kampung Sawah yang terletak di Kabupaten Bekasi, merupakan sebuah kampung yang boleh dikatakan kampung ‘buferzone’ antara Ibukota Jakarta dengan wilayah sekitarnya. Hal tersebut mengakibatkan adanya pengaruh terhadap sistem mata pencaharian masyarakat sekitar. Apabila masyarakat Jawa Barat yang berada di daerah memiliki ciri mata pencaharian yang homogen, maka bagi masyarakat Kampung Sawah yang berada di daerah buferzone tersebut, diferensiasi dalam mata pencahariannya sudah berkembang, sehingga tidak lagi homogen, heterogenitas matapencaharian mulai nampak di daerah ini. Hildred Geertz menghubungkan jenis mata pencaharian dengan komposisi sosial, komposisi tersebut adalah ‘the urban elite’, yang terdiri atas kalangan diplomatik, penguasaha baik asing maupun pribumi; kemudian mereka yang disebut ‘the urban middle class’ yaitu yang terdiri atas kalangan pegawai menengah, pamongpraja, guru dan anggota tentara, dan yang terakhir disebut ‘the urban proletariat’ yang terdiri atas golongan buruh, pembantu rumah tangga, tukang beca, pedagang kecil, dan lain-lain. Melihat dari komposisi sosial sesuai dengan mata pencaharian penduduk Kampung Sawah termasuk ke dalam The urban Proletariat’. Namun Hildred Geertz sendiri tidak secara spesifik mengemukakan tentang klasifikasi ataupun komposisi sosial mata pancaharian masyarakat desa, ia hanya menulis “most villages are therefore fairly homogeneous both in economics condition and in general outlook” (1964 :23).
Perkembangan jaman yang cukup panjang dan berlanjut secara kontinu, menjadikan manusia tetap bertahan hidup. Proses perkembangan yang cukup panjang ini, secara hipotesis merupakan usaha manusia dalam mempertahankan hidup dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Kegiatan dalam mempertahankan hidup manusia di jaman dahulu pada sebuah komunitas yang masih sederhana, dilakukan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan saja. Berbeda dengan komunitas yang lebih maju, mereka mencoba di samping untuk memenuhi kebutuhan juga untuk disimpan dan atau ditukar dengan barang lain demi memenuhi kebutuhan benda lainnya. Jadi tidak saja benda yang dihasilkan itu merupakan sesuatu yang bersifat primer, melainkan dapat pula dijadikan atau ditukarkan dengan sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan yang bersifat skunder.
Pada awalnya, mata pencaharian hidup manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya mengalami beberapa proses, dimulai dengan berburu, kemudian meramu dan pada akhirnya bercocok tanam. Menurut beberapa ahli, perkembangan mata pencaharian dari berburu, meramu kemudian menjadi bercocok tanam merupakan suatu peristiwa besar dalam proses perkembangan kebudayaan manusia (Adimihardja, dalam Ekadjati, 1980 : 166). Sedangkan Kuntjaraningrat antara lain mengemukakan, sejak manusia timbul di muka bumi ini, kira-kira 1 juta tahun lalu, ia hidup dari berburu, sedangkan baru kira-kira 10000 tahun yang lalu ia mulai bercocok tanam. Rupanya bercocok tanam tidak terjadi sekonyong-konyong, tetapi kepandaian itu timbul dengan berangsur-angsur di berbagai tempat di dunia. Mungkin usaha bercocok tanam yang pertama merupakan aktivitas mempertahankan tumbuh-tumbuhan di tempat tertentu. Kemudian mengalami perkembangan (1967: 31-32) Sementara itu, Adiwilaga, mengemukakan, sangat boleh jadi perkembangan pertanian itu tidak sederhana seperti digambarkan dalam hipotesa ini. Lodwek Milk meminta perhatian bahwa sejak awal permulaan dari kehidupan manusia di muka bumi ini, ada dua kelompok manusia yang satu dengan yang lain berbeda cara hidupnya. Yang satu kelompok pada dasarnya mempunyai hakekat yang cenderung ke arah bercocok tanam, kelompok yang satu lagi, sama sekali tidak mempunyai kecenderungan untuk bercocok tanam, melainkan memelihara ternak dan mengembala ternak. (1975 :5).
Dari uraian di atas, dapat ditarik satu kesimpulan sederhana bahwa perkembangan sistem mata pencaharian ini merupakan perkembangan dari hal yang sederhana; berburu, meramu, kemudian bercocok tanam. Bercocok tanam ini pun tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan melalui suatu proses perjalanan yang panjang dengan memerlukan pengalaman yang terus menerus. Dalam perkembangan selanjutnya, bercocok tanam pun mengalami perubahan yang mendasar, yaitu bercocok tanam di atas lahan basah dan lahan kering. Dewasa ini bercocok tanam di atas lahan basah kita kenal dengan sistem pertanian bersawah, sedangkan bercocok tanam di atas lahan kering kita kenal dengan berladang atau berkebun (huma, salah satu sistem pertanian padi yang dilakukan di atas lahan kering). Data lama yang menyatakan jumlah luas sawah di Pulau Jawa menyebutkan bahwa sekitar 3.848.000 ha, dan kurang lebih 1.162.811 ha berada di Jawa Barat (Adimihardja, dalam Ekadjati,1980 :171). Kini lahan persawahan tersebut semakin menyusut sesuai dengan perkembangan kebutuhan untuk peruntukkan perumahan dan lahan peruntukkan industri.
Jawa Barat memiliki iklim yang baik untuk kebutuhan bercocok tanam atau bertani, yaitu iklim tropis dengan dua musim yang sangat mempengaruhi terhadap pertanian. Dengan iklim ini pula Indonesia merupakan negara agraris dan salah satu wilayahnya yaitu Jawa Barat yang sangat subur, sehingga pertanian menjadi prioritas. Dan rakyatnya pun menjadikan pertanian adalah mata pencaharian utama.
Dalam kaitan dengan masalah mata pencaharian hidup masyarakat di Indonesia, khususnya di Jawa Barat, Wertheim dalam ‘Indonesian Society in Transition’ membagi cara bercocok tanam masyarakat Indonesia menjadi tiga pola mata pencaharian utama, yaitu masyarakat pantai, masyarakat sawah, dan masyarakat ladang. (Adimihardja, dalam Ekadjati,1980 : 175). Apa yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Sawah Desa Cikaregeman Kabupaten Bekasi Jawa Barat, dalam bermatapencahariannya, mereka melakukan beberapa cara yang sesuai dengan kondisi dan topografi daerahnya. Kehidupan utama masyarakat Kampung Sawah Desa Cikarageman Kabupaten Bekasi adalah bercocok tanam di sawah dan ladang. Hasil bercocok tanam padi di sawah dan di ladang (huma) tidak saja untuk dikonsumsi dalam kebutuhan keseharian, melainkan dijual kepada masyarakat lainnya. Begitu pula hasil pertanian pokok lainnya yaitu Cikur ‘Kaempferia Galanga’ dan Laja ‘Alpinia Galanga’ dijual ke kota Malang dengan cara diambil oleh ‘Bos Cikur’ yang datang dalam waktu seminggu sekali. Sedangkan hasil palawija lainnya seperti kacang panjang, sereh, kacang tanah, hasail perkebunan lainnya buah tangkil dan daunnya dijual ke pasar-pasar yang ada di sekitar kota Bekasi sendiri dan pasar induk Kota Bogor dan pasar induk Kramat Jati Jakarta.
Mata pencaharian lainnya, seperti PNS, berdagang, membuat kursi dari bambu, penjahit, dan bahkan tujuan utama para pemuda Kampung Sawah yaitu sebagai buruh di pabrik-pabrik yang bertebaran di sekitar daerah Bekasi kota, Karawang, dan Kawasan Cikarang Lipo. Memang Kampung Sawah yang berada di Kabupaten Bekasi ini merupakan daerah yang berdekatan dengan kawasan industri yang sangat banyak memerlukan tenaga buruh. Pabrik-pabrik yang menjadi tujuan utama adalah pabrik semen, kertas, eletronik dan Astra group. Dengan banyaknya pabrik yang ada di sekitar Bekasi berdampak menyedot tenaga ke arah industri, sehingga para pemuda enggan untuk melakukan kegiatan pertanian, mereka lebih memilih jadi buruh di pabrik.
Sistem penggajian yang dilakukan oleh pabrik sedikit lebih menjanjikan karena disesuaikan dengan standar UMR Kota Bekasi, yaitu Rp. 1.016.000,00 setiap bulannya ditambah dengan uang makan, transport, dan tunjangann kesehatan. Maka dengan adanya sistem penggajian seperti ini, mereka beranggapan lebih baik menjadi buruh dibanding dengan petani. Ada motto yang mendukung mengapa mereka lebih baik mengambil menjadi buruh daripada petani. Bagi mereka, mending jadi buruh, teu aya rugina. Sepuh we nu tani mah ‘lebih baik jadi buruh, tidak ada ruginya. Orang tua saja yang menjadi petani’.
Para pengrajin tradisional yang membuat kerajinan kursi dan rak sepatu yang terbuat dari bambu hitam, mereka jual ke daerah Tangerang, Bogor, Jakarta dan perumahan di sekitar Kota Bekasi. Beberapa pengrajin yang mengerjakan kerajinan kursi ini merupakan home industri yang memperkerjakan buruh dari keluarga terdekat. Harga hasil kerajinan kursi males ‘kursi santai yang disimpan di bale-bale di depan rumah’ biasanya dapat dijual dengan harga Rp. 150.000,00 hingga Rp. 200.000,00. persatuannya, sedangkan rak sepatu dijual dengan harga Rp. 70.000,00 persatuannya Sementara bahan baku bambu hitam yang dahulu didapat di sekitar rumah dan kampung Sawah sendiri, sekarang ini sudah di’impor’ didatangkan dan dibeli dari luar kota seperti dari Sukabumi. Selain home industri pembuatan kerajinan kursi dan rak sepatu, mereka juga biasanya membuat berbagai anyaman, seperti anyaman samak ‘tikar’ yang terbuat dari daun pandan, yang banyak didapat di sekitar kampung Sawah sendiri. Anyaman lainnya yang juga menjadi komoditas yang dapat dijual ke luar daerah adalah anyaman susug ‘perangkap ikan’ dan anyaman alat-alat dapur lainnya. Hasil dari home industri ini dijual ke luar daerah, yaitu ke pasar-pasar tradisional di sekitar Kota Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Jakarta.
1. Sistem Sewa Tanah Garapan
Kagiatan ekonomi yang menjadi pekerjaan utama bagi masyarakat kampung Sawah Desa Cikarageman Kabupaten Bekasi adalah pertanian. Sistem pertanian yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Sawah ada dua macam, yaitu pertanian basah ‘sawah’ dan pertanian kering ‘ladang’. Hampir 90 % penduduk di daerah ini adalah petani, namun sangat disayangkan bahwa sistem kepemilikan tanah, sudah lepas kepada pengembang, sehingga penduduk di sini sudah tidak lagi memilikinya, mereka hanya sebagai penyewa. Lepasnya tanah milik penduduk itu terjadi pada masa-masa sebelum masa reformasi, pada waktu itu ada semacam agitasi terhadap masyarakat bahwa tanah yang ada di sekitar harus dijual, sehingga banyak masyarakat yang menjualnya dengan harga yang sangat murah. Akibatnya, kini masyarakat merasa sangat menyesal. Pada akhirnya mereka hanya menggarap tanah dari hasil sewa yang dilakukan kepada salah satu perusahaan yang menguasainya yaitu “PT. Wiguna”. Sebagai contoh salah satu informan yang menjual tanahnya pada waktu itu dihargai sangat murah, dengan hanya Rp. 11.000,00 permeternya, namun kini harga tanah di area itu harganya sangat melonjak yaitu Rp. 100.000,00 permeternya. Kejadian itu mengakibatkan masyarakat Cikarageman hanya sebagai penyewa yang sewaktu-waktu tanahnya dapat diambil oleh perusahaan dalam pengembangan perumahan dan pengembangan industri dan lain-lain.
Sistem sewa tanah garapan dilaksanakan dan diatur oleh aparat desa. Pengaturan ini dilaksanakan agar tidak terjadi perselisihan di antara masyarakat itu sendiri, sehingga setiap orang mendapat jatah yang merata. Memang pada awalnya, pembagian luas lahan garapan ini tidak merata, namun kemudian aparat desa menengahinya dan pada akhirnya dirata-ratakan menjadi 1000 m² untuk setiap orangnya. Ada juga warga masyarakat yang memiliki lebih dari luas yang ditentukan itu, hal tersebut disebabkan dia telah lebih dahulu menyewa lahan tersebut. Menurut beberapa informan yang ditemui, mereka menyewa tanah itu dengan harga yang telah ditentukan oleh desa dan mereka pun tidak tahu berapa pihak desa membayar kepada “PT. Wiguna”, harga sewa dalam satu tahun untuk luas lahan 1000 m² adalah sebesar Rp. 70.000,00. Mereka harus menyetor uang ke kas desa pada awal tahun penggarapan. Jumlah luas lahan setiap orangnya dalam menyewa lahan tergantung kepada kemampuan seseorang untuk membayarnya. Apabila seseorang yang ingin menambah luas lahan garapan harus ‘membeli’ dari penyewa lain yang mau melepaskan lahan garapannya. Namun dengan demikian seseorang enggan melepas lahannya yang telah disewanya itu.
2. Penggarapan Pertanian Lahan Basah ‘Sawah’
Menurut penuturan informan, mereka dapat menyewa tanah kurang lebih hampir sama dengan rata-rata penduduk yang ada di Kampung Sawah. Namun ada juga beberapa warga yang memiliki di atas rata-rata, hal tersebut dikarena ia telah terlebih dahulu menyewa kepada PT Wiguna, dan ini telah berlangsung beberapa waktu.
Masyarakat Kampung Sawah, masih merupakan masyarakat yang tradisional dalam menggarap sistem pertanian sawah. Dikatakan bahwa komoditas andalan menjadi sumber bahan makanan pokok menjadikan sebuah ketergantungan terhadap hasil pertanian tersebut. Padi adalah andalan utama yang dijadikan bahan pokok makanan keseharian tersebut. Pada kenyataannya tanaman padi ini dibudidayakan tiak saja di lahan basah atau di sawah, melainkan dibudidayakan di lahan kering ‘huma’ yang dalam pembudidayaannya dibarengkan dengan tanaman palawija.
Seperti dikemukakan di atas, bahwa keterbatasan lahan menjadi kendala bagi masyarakat kampung Sawah, baik lahan basah ‘sawah’ dan lahan kering ‘ladang’ yang rata-rata minimal dimiliki sekitar 1.000 m² perorangnya. Kendala lainnya adalah pengolahan tanah masih sangat sederhana, tenaga buruh melibatkan tenaga kerja keluarga dekat atau buruh yang biasa ada di lingkungan kampungnya. Pembayaran untuk ongkos tenaga kerja ini memerlukan biaya yang cukup tinggi, ada dua mcam cara pembayaran tenaga kerja buruh sawah dan ladang ini yaitu (a) tenaga buruh lepas dibayar sebesar Rp. 50.000,00 perharinya, disebut tenaga buruh lepas ini disebabkan ia tidak menerima jatah makan ketika bekerja. dan (b) tenaga buruh biasa yang dibayar sebesar Rp. 30.000,00 perhari ditambah dengan makan dua kali (pagi sore), ngopi dua kali (pagi sore) dan rokok satu bungkus (biasanya rokok yang diberikan bermerk Minak Jinggo seharga Rp. 3.500,00, atau rokok Sampoerna seharga Rp. 7.000,00). Makanan kecil untuk ngopi yang diberikan pada waktu pagi hari biasanya terdiri atas makanan ringan seperti nasi ketan, kulub sampeu ‘ketela rebus’, kue-kue kecil. Ngopi pagi biasanya disuguhkan pada kira-kira pukul 10.00 pagi dan ngopi sore diberikan pada pukul 16.00 sore, dengan porsi yang berbeda, yaitu kue-kue kecil dengan air kopi. Sedangkan makan diberikan pada pagi hari seiktar pukul 08.00 pagi dan siang hari pada pukul 12.00 atau 13.00 siang hari.
Sudah sejak tahun 1960-an, pemerintah telah memperkenalkan varietas padi unggulan ditanam, namun masyarakat Kampung Sawah masih menanam padi unggulan jenis lokal, yaitu padi ‘Sadane dan CR’. Kedua jenis ini masih mendominasi penanaman padi bagi para petani yang ada. Sistem penanaman padi sudah dilakukan sebanyak tiga kali panen dalam setahunnya, hal itu menyebabkan penghasilan para petani dapat dianggap stabil. Namun ketika terjadi kelangkaan pupuk maka ongkos produksi meningkat, karena harga pupuk yang melambung tinggi. Solusi yang diperlukan oleh para petani dengan mempergunakan pupuk kandang atau istilahnya dengan ‘berak’. Harga berak pun cukupmahal yaitu Rp. 8.000 perkarungnya. Untuk memenuhi kebutuhan pupuk berak seluas lahan 1.000 m² diperlukan sebanyak 10 karung untuk sekali tanam.
Ongkos produksi yang diperlukan dalam pengolahan sawah dalam satu kali panen dapat diuraikan sebagai berikut,
(a) Buruh tenaga yang diperlukan sebanyak 10 hari kerja @ Rp. 50.000 = Rp.500.000,00
(b) Pupuk Berak 10 karung @ Rp. 8.000,00 = Rp. 80.000,00
Sedangkan penghasilan dalam satu tahun dengan panen tiga kali dapat dihitung :
(a) luas tanah garapan 1.000 m² rata-rata 5 kwintal padi. @ Rp. 300.000,00 = Rp. 1.500.000,00
(b) dalam satu tahun 3 kali panen @ Rp. 1.500.000,00 = Rp. 4.500.000,00.
Sedangkan penggarapan sawah kering ‘huma’ dilakukan di atas ladang yang penanamannya bersamaan dengan palawija. Padi huma tidak menjadi andalan masyarakat Kampung Sawah, tapi sudah menjadi suatu kebiasaan. Tidak seperti biasanya, ngahuma yang secara umum dilakukan oleh masyarakat Baduy di Provinsi Banten sangat berbeda dengan ngahuma yang di Kampung Sawah ini. Ngahuma di Banten dilakukan di sebuah ladang yang jauh dari tempat tinggal atau perkampungan, namun di Kampung Sawah ngahuma dilakukan di ladang yang berdekatan dengan rumah atau perkampungan. Ladang-ladang yang ada di sekitar perumahan dapat dijadikan huma yang disiangi dengan sistem palawija.
3. Komoditas Utama : Cikur ‘Kaempferia Galanga’ dan Laja ‘Alpinia Galanga’
Penggarapan lahan kering ‘ladang’ yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Sawah ini ditujukan pada komoditas tertentu saja, yaitu cikur ‘Kaempferia Galanga’ dan laja ‘Alpinia Galanga’. Kedua tanaman ini merupakan komoditas utama yang ditanam pada lahan kering karena kedua jenis tanaman ini memberikan hasil yang secara ekonomis cukup signifikan sekali. Tanaman ini merupakan tanaman yang dapat dijual dengan harga yang tinggi.
Sama halnya dengan sistem penggarapan lahan basah atau sawah, sistem penggarapan lahan kering atau ladang pun dalam ‘kepemilikan’-nya dilakukan dengan sistem sewa lahan garapan minimal 1.000 m² perorang kepada pihak PT .Wiguna.
Lahan garapan ladang bisanya ditanami dengan jenis tanaman yang dijadikan komoditi unggulan, yaitu Cikur ‘Kaempferia Galanga’ dan Laja ‘Alpinia Galanga’. Kedua jenis tanaman ini dijual ke luar daerah untuk dijadikan bahan baku jamu. Para bos cikur dari Kota Malang Jawa Timur dalam waktu yang secara periodik datang ke Kampung Sawah untuk membelinya. Dan para bos ini pula yang menentukan harga, sehingga para petani hanya menerimanya.
Tata cara para petani yang menggarap lahan kering untuk menanam cikur dan laja tahapannya dilakukan dengan cara pertama-tama, lahan dipacul ‘dicangkul’ maksudnya agar tanah menjadi gembur dan menjaga hara tanah. Setelah dicangkul dan digemburkan tanahnya, kemudian lahan dikamalirkeun, ‘membuat saluran air setiap jarak dua meter’ agar aliran air dapat menyebar dan merata ke seluruh bagian ladang. Tanah untuk menanam benih cikur kemudian digaritan ‘tanah yang akan ditanami, ditandai ditaur agar lurus dengan cara dari ujung satu ke ujung lainnya diberi garis lurus’. Kemudian petani menanamkan benih cikurnya di atas garis yang lurus tersebut, setelah itu di beri berak ‘pupuk kandang’ dan diurug dengan tanah secukupnya. Lama pengerjaan untuk lahan seluas 1.000 m² dari mulai mencangkul hingga menanam benih, biasanya dilakuan dalam waktu satu minggu dengan tenaga buruh sekitar 10 orang. Benih cikur yang diperlukan untuk lahn seluar 1000 m² kurang lebih 2,5 kuintal. Apabila Cikur tersebut dipanen dal;am waktu satu tahun, dari lahan seluas 1.000 m² dapat menghasilkan 1 ton cikur yang siap jual.
Strategi petani untuk meraup keuntungan yang lebih dan berlipat ganda, mereka biasanya tidak melakukan panen dalam jarak waktu satu tahun tanam, melainkan dengan jarak panen 2 tahun dari penananam. Caranya, ketika tanaman cikur telah berumur satu tahun, tidak langsung dipanen, melainkan cikur yang ada di urug kembali dan diberi pupuk berak, baru kemjudian setelah berumur dua tahun mereka akan memanennya. Hasil panennya akan melimpah dan berlipat ganda. Dari lahan seluas 1.000 m², dalam tahun pertama dapat menghasilkan 1 ton, setelah dua tahun akan menjadu 30 ton.
Ongkos produksi yang diperlukan dalam pengolahan ladang cikur dalam satu kali panen dapat diuraikan sebagai berikut,
1. Buruh tenaga yang diperlukan sebanyak 10 hari kerja @ Rp. 50.000 = Rp.500.000,00
2. Benih yang diperlukan sebanyak 2,5 kuintal @ Rp. 7.000,00 / Kg.= Rp. 1.750.000,00
3. Pupuk Berak 50 karung @ Rp. 8.000,00 = Rp. 400.000,00
4. Sedangkan penghasilan dalam satu tahun satu kalipanen dapat dihitung:
5. luas tanah garapan 1.000 m² rata-rata 1 ton. @ Rp. 9.000,00/ Kg = Rp. 9000.000,00
6. Jika panen dilakukan dalam dua tahun, biaya pengeluaran dapat dihitung : tenaga buruh 5 hari kerja @ Rp. 50.000,00 = Rp. 250.000,00 ditambah dengan pupuk berak 50 karung @ Rp. 8.000,00 = Rp. 400.000,00
7. Panen yang dihasilkan jika cikur berumur dua tahun dari luas lahan 1000 m² menjadi 30 ton cikur yang siap jual, dengan harga @ Rp. 9.000,00/ Kg.
Begitu pula dengan tanaman laja sistem perawatan dan penanamannya hampir sama dengan tanaman cikur. Hasil pertanian lain yang dapat dijual ke luar daerah dari Kampung Sawah ini antara lain Dun tangkil, tangkil, dan sereh.
Jika dilihat dari penghasilan rata-rata masyarakat Kampung Sawah yang 60 % adalah para petani ini, dari hasil pertanian sawah dan ladang kering boleh dikatakan lebih dari cukup. Penghasilan yang mencukupi ini dapat tergambarkan dari kepemilikan rumah tempat tinggal yang rata-rata seluas 6 m² X 12 m² atau 9 m² X 15 m² dengan rumah permanen terbuat dari baru bata dan campuran semen. Ekonomi keluarga pun sudah dikatakan cukup mapan, mereka bahkan mampu mengkredit motor dengan cicilan sebesar Rp. 1.000.000,00 untuk dua motor sekaligus.
Motto hidup para pemuda yang ada di Kampung Sawah yang menyatakan bahwa mending jadi buruh, teu aya rugina. Sepuh we nu tani mah ‘lebih baik jadi buruh, tidak ada ruginya. Orang tua saja yang menjadi petani’. Merupakan sebuah tindakan yang dapat merugikan mereka sendiri, karena bertani tidak dibatasi oleh umur atau usia, sedangkan menjadi buruh selalu dibatasi oleh umur, bahkan untuk menjadi buruh pun mereka masih harus menyuap para petugas agar mereka dapat diterima di perusahaan yang ditujunya. Hanya karena gengsi keluarga saja mereka mau menjadi buruh di suatu pabrik yang bergengsi, yang pada akhirnya mereka akan tetap kembali menjadi petani. Tapi petani pun di Kampung Sawah adalah dilema, karena lahan yang selama ini diolah adalah lahan milik orang luar yang sewaktu-waktu dapat diambil sesuai dengan kebutuhan. Dan pada akhirnya para petani di sana akan menjadi penonton.
Daftar Pustaka :
Adimihardja, dalam Ekadjati, 1980. Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya. Bandung. Giri Mukti Pasaka.
Adiwilaga, A.Prof. 1975. Ilmu Usaha Tani. Bandung, Alumni.
Kuntjaraningrat. Dr. Prof. 1967, Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Djakarta, Dian Rakjat.
http://sundasamanggaran.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar